18 September 2011

Ego si Bejo

#

"oooooeeekkk, oooeeeekkk, oooooeeekkk..."

Itulah lengkingan spontan bayi sesaat setelah tergunting tali pusarnya dari sang bunda, saat itu pulalah nafas pertamanya dimulai…

Bayi, yang karena tidak menyadari dirinya memiliki identitas individu, tidak memiliki intelek yang merupakan sarana untuk mengarang konsep pikir apapun dan dengan demikian hidup secara spontan tanpa resistansi dari saat ke saat, ia secara murni hidup "di sini saat ini". Lihatlah betapa berhagianya ia, yang tercermin dari kecemerlangan dan kejernihan bola matanya, ketika tubuh kecilnya terayun-ayun dalam timangan tangan ayahnya yang perkasa. Lihat pula betapa luar biasa damainya wajah itu ketika sedang menyusu dalam dekapan ibunya terkasih.

"Malapetaka"pun mulai berbenih ketika ia telah mulai disapa nama kecilnya oleh orang di sekelilingnya,

"Bejo...Bejo...Bejo...jo...jo...jo...wah, gantengnya..."

Setelah tubuh Bejo agak besar dan berjalan tertatih dengan lancar tiba-tiba kepalanya terantuk pinggir meja dan ia pun menjerit dan mengaduh kesakitan, lalu ada orang dewasa yang datang memukul meja...

"ah nakal kamu ya (sambil pasang muka garang terhadap meja) sini...sini..Jo.. Bejo...oh...si ngganteng..." Cup...cup...cup... dihujaninya si Bejo ngganteng dengan ciuman "menghanyutkan".

Lagi, setelah pandai berlari-lari, tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia pun menjerit dan mengaduh kesakitan, lagi-lagi orang-orang dewasa datang memukul batu dan menyalahkan batu itu yang menyebabkan dia jatuh…

“batu yang nakal, kurang ajar kamu ya, mengapa kamu menghalangi bejo yang nganteng?!..” (lagi-lagi muka garang ditunjukkan kepada batu). ”…sini...sini..Jo.. Bejo...oh...si ngganteng..." Cup...cup...cup...” dihujaninya lagi si Bejo ngganteng dengan buaian "menghanyutkan".

Nah, si ego/si aku Bejo kecil telah menerima pelajaran sejak dini bahwa dirinya "ngganteng alias tampan" dan menyalahkan "meja", “batu”/entitas lain alih-alih dirinya sendiri atas penderitaannya.

Alkisah, si Bejo pun masuk, TK, lalu SD, SMP, SMA, UI, Harvard, Sorborne, entah mana lagi. Dan seiring dengan perjalanan hidupnya si ego/aku yang tadinya sangat kecil kini telah berubah/tumbuh sebesar Rahwana dengan sepuluh kepala….

#

Itulah secuil perjalanan umat manusia pada umumnya. Kebanyakan ego manusia menerima masukan info fiktif alias palsu alias bukan fakta yang lalu menguasai kehidupannya sehari-hari. Selama hidupnya mereka jarang mau menerima kenyataan hidup. Kehidupan sehari-harinya dipenuhi dengan berbagai konsep pikir yang dipercayainya sebagai kebenaran. Yang merupakan fatamorgana dilihatnya sebagai kenyataan. Yang serba palsu dianggapnya sebagai serba asli. Hidupnya sungguh menderita. (bersambung….)


Lanjut Membaca “Ego si Bejo”  »»

11 September 2011

Filosofi Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang.

Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru. Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?"
"Wortel, telur, dan kopi" jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.

Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?"

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi 'kesulitan' yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik.

Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya. "Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?"

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu."

"Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya penderitaan dan kesulitan (kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan, dll) maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?."

"Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat."

"Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik."

"Ada raksasa dalam setiap orang dan tidak ada sesuatupun yang mampu menahan raksasa itu kecuali raksasa itu menahan dirinya sendiri".

"Lantas apa yang akan kita lakukan ayah?..."

"Mari kita nikmati kopi ini....!"

Lanjut Membaca “Filosofi Kopi”  »»

18 Agustus 2011

Teman setia ayah dan bunda




Bumi berputar.
Seperti siang yang menyelimuti malam.
Seperti malam yang menyelimuti siang.
Seperti itu,terus menerus.
Setiap hari semua berjalan sama.
Hampa dan fana.
Ada dan tiada.
Tak jelas benar apa bedanya…

Bumi berputar.
Seperti siang yang menyelimuti malam.
Seperti malam yang menyelimuti siang.



Seperti Galih .
Yang tangis dan tawanya.
Mengusir hampa dan fana.

Semoga...
Menjadi teman setia ayah dan bunda
Membangun pembatas yang jelas.
Antara ada dan tiada…

Teruslah menangis...
Teruslah tertawa…

Lanjut Membaca “Teman setia ayah dan bunda”  »»