Pesan Dr. Ali Syariati;
Ketika seseorang menjadi miskin, hal-hal baik yang dia lakukan dengan gampang dilecehkan dan dicibirkan. Sementara itu orang yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan dapat memaksakan kelemahannya agar dianggapp sebagai seni, bualannya sebagai percakapan dan omelannya sebagai filsafat, ilmu dan agama. Gurauannya dan humornya yang tidak bercitarasa hanya menimbulkan gelak tawa yang tidak bermakna.
Yang berlaku atas orang berlaku pula atas bangsa-bangsa.
Ketika kita, kaum muslimin, mempunyai kekayaan dan kekuasaan, ketika profesor-profesor Spanyol dan Itali, para filosof dan sarjana bangkit memberikan kuliah di universitas-universitas mereka, mereka menggunakan jubah Islam kita. Mereka membuat diri mereka tampak seperti Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Gazali dan Al-Farabi.
Dewasa ini, ketika profesor-profesor kita menggunakan jubah akademik, mereka mengira bahwa mereka sedang mengajarkan apa-apa yang dikerjakan oleh orang-orang Eropa. Ketika mereka membuat diri mereka tampak seperti profesor-profesor Spayol, Itali, Prancis dan Inggris. Mereka mengira bahwa mereka sedang meniru Immanuel Kant dan Descartes.
Seniman-seniman kristen di Eropa, ketika meniru kita, memberikan label pada kepada barang-barang mereka dengan merk ALLAH pada salib mereka.
Ketika perang salib meletus, mereka memerangi kita dan kitapun memerangi mereka. Akhirnya, kaum kolonialis dan kaum zionis bersatu padu dan kaum muslim tercerai-berai. Kaum Sunni berperang dengan kaum Syi’ah, Syi’ah dengan Sunni; orang-orang Turki melawan orang-orang Iran, orang-orang Iran melwan orang-orang Arab, orang-orang Arab melwan orang-orang barbar. Sementara Islam mengajarkan kesatuan, kaum muslimin terbagi-bagi dalam berbagai kelompok dan mahzab pemikiran.
Bentangkanlah peta bumi dihadapanmu. Tarik sebuah garis dari teluk persia melintasi Spanyol. Lalu tarik garis lain dari Spanyol ke Cina dan sebuah garis lain keteluk Persia. Segitiga yang tercipta adalah bangsa muslim; satu negara, satu akidah, dan satu kitab suci.
Tapi sekarang?..... Kaum muslimin yang memeluk satu agama, dengan satu lidah spiritual, dalam satu wilayah, didalam satu masjid, terus-menerus melakukan sholat berjama’ah dengan berbagai cara yang berbeda.
Manakala saudara berselisih dengan saudara, maka tiap suku, setiap orang, setiap kelompok etnis, setiap negara, merasa jauh dari islam, tersesat menuju menara-menara mati, puing-puing kuno, tulang-tulang kering. Mereka campakkan Tuhan dari ingatan mereka dan mengganti-Nya dengan debu.
Orang-orang asing menjadi alat untuk menghancurka kita. Mereka menggiring kita ke arena tinju, menumpahkan darah, membentuk sekte-sekte, bersaing dengan perangkat keras, mengalihkan pikiran-pikiran kita menuju pemikiran-pemikiran yang tidak relevan, dan menjebak kita kedalam kekaguman pada roti dan sirkus. Kita menjadi lumpuh dan tidak berguna.
Orang-orang Mongol datang, membakar, membunuh dan menjarah. Orang-orang Eropa datang dan bermukim. Tetapi, kita, terlalu sibuk mencegah satu sama lain dari melihat atau tidak ingin melihat, atau kita tidak dapat melihat, lantaran kita sibuk berperang satu sama lain. Atau, kalau kita mau menengok kembali kezaman prasejarah, kita hanya mencari-cari makam, kepala kita yang menunduk dan tidak mampu melihat apa yang tengah terjadi.
Orang-orang barat terbangun dan kita tertidur. Orang-orang Kristen, kaum kolonialis dan kaum zionis bersatu, sementara kita, kaum muslimin terpecah-pecah kedalam ratusan kelompok. Mereka maju, sementara kita dihantui kemiskinan dan kelemahan.
Lantas mau apa kita saat ini?.... Sebagian dari kita terlalu sibuk bertengkaar tentang masa lalu hingga samasekali jahil (acuh, masa bodoh) terhadap dunia sekarang ini. Sebagian dari kita terlalu pintar dan terlalu tahu tentang segala sesuatu mengenai dunia. Kita duduk berpangku tangan dan, seperti monyet-monyet dikebun binatang, hanya melihat manusia-manusia berlalu lalang. Dan apa saja yang dilakukan oleh monyet-monyet itu, kita_monyet-monyet_pun sekedar meniru mereka.
Dimata orang-orang sok pintar itu, hanya orang asinglah yang disebut manusia. Mereka adalah orang-orang yang harus diperhatikan lantaran orang-orang asing itu mempunyai uang dan kekuasaan.
Sebagian lain dari kita dilanda kemiskinan. Kebaikan dalam diri kita dicibirkan dan dilecehkan, sementara mereka yang kaya memaksa orang lain melihat kelemahannya sebagi seni.
Mereka menginginkan kita semua menjadi monyet-monyet; para profesor-profesor kita, para penyair kita, para pemimpin kita, seniman-seniman kita, filosof-filosof kita, kaum wanita kita, kaum pria kita, generasi muda kita, kehidupan kita, kota-kota kita keluarga-keluarga kita dan bahkan- anak-anak kita.
Mereka hanya takut kepada pemahaman kita. Seberapapun kuat tubuhmu, itu tidak akan membuat mereka takut. Engkau tak bakal lebih kuat dari seekor sapi dan mereka dengan leluasa memerah susu sapi-sapi itu. Engkau tak bakal lebih cepat dari seekor kuda dan mereka dengan enak menunggangi kuda-kuda itu.
Yang mereka takutkan hanyalah gejolak pikiran-pikiranmu.
Para pembuat keputusan kita, harus mengambil keputusan tentang hal-hal yang tidak bermanfaat. Engkau, anak-anak, tidak terdidik untuk belajar bagaimana mengajarkan segala sesuatu, kecuali hanya memikirkan kepentinganmu sendiri. Engkau harus bersih, gemuk, bahagia dan berteriak lantang.
Mereka tunjukkan sekilas alat-alat audiovisual yang mengagumkan kepadamu seraya mengajarkan bahwa hanya mata dan telingamulah yang mesti bekerja, bukan otak dan perasaanmu. Mengapa?.... agar engkau tidak melihat hal-hal yang berada dibelakang layar, sehingga engkau tidak bakal mendengar dan melihat hal-hal yang mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi dan halus disekitarmu. Apapun yang mereka bawa dan mereka ambil, dilakukan dengan amat halus dan perlahan. Tetapi, engkau anak-anak dapat melihat seekor kucing hitam penuh tipudaya yang memanjat dinding dan menyusup masuk lewat jendelamu. Engkau dapat mendengar langkah kakinya yang pelan dan berat.
Engkau anak-anak, bisa memahami. Bagaimana tentang intelegensia didalam sorot mata anak-anak kita yang bertelanjang kaki, yang masih hidup disepanjang tepian gurun pasir? Ya... Anak-anak kita memahami segala sesuatu. Mereka memahami alam semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya, gerakan semua benda, adakah benda-benda itu hampa, atau penuh makna, memahami bagian dari dunia ini dan bagian dari dunia lain. Mereka memahami untuk mereka sendiri, untuk kemanusiaan, untuk Tuhan. ...#
Komentar :
Posting Komentar