Di Paris intelektual Muslim reformis Rifa'a Badawi Rafi' al-Tahtâwî (Tahtâ-Mesir, 1801-1873) terpesona pada ide-ide pemikir Pencerahan Perancis. Ia memang lebih dari sekadar pantas dinobatkan sebagai "pionir pencerahan di era kontemporer", predikat intelektual yang diberikan pemikir Arab Muhammad 'Imârah dalam Rifa'a al-Tahtâwî: Ra'id al-tanwîr fi al-'asr al-hadîts (1984).
Dimulai tahun 1826, perjalanan Tahtâwî ke Paris merupakan bagian dari misi Mesir ke Eropa pada abad ke-19. Ia ditunjuk sebagai imam atas delegasi pertama mahasiswa Mesir ke Eropa yang dikirim Muhammad Ali (1770-1849). Orang yang berpengaruh dan berjasa mengamankan posisi Tahtâwî adalah Sheikh Hasan al-'Attâr (1766-1835). Dialah yang merekomendasi kepada Muhammad Ali agar Tahtâwî dipilih sebagai imam ke Paris.
Sejak menimba ilmu di Universitas al-Azhâr (1817-1821), Tahtâwî sudah diperkenalkan pada ilmu-ilmu modern Eropa oleh al-'Attâr. Kedekatannya dengan sejumlah orientalis Perancis yang dibawa Napoleon di the Institut d'Egypte membuat al-'Attâr sangat terbuka pada pemikiran Eropa, yang kelak terwariskan pada Tahtâwî. Pilihan intelektual itulah yang membuat dia harus berseberangan dengan sejarawan 'Abd al-Rahmân al-Jabartî (1753-1826) dan berada satu barisan dengan Muhammad Ali dalam proyek modernisasi Mesir. Pengiriman mahasiswa Mesir ke Eropa dengan menunjuk Tahtâwî sebagai imam haruslah dipahami sebagai bagian dari agenda modernisasi dengan menoleh Perancis sebagai model peradaban maju.
"Traveling" dan "the Pursuit of Knowledge"
Dimulai pada bulan Syakban 1241 Hijriah (Maret 1826), Tahtâwî mulai melakukan perjalanannya dari Kairo ke Paris, dan tinggal di Paris selama lima tahun (1826-1831). Meskipun bukan orang Muslim pertama yang mendarat di benua Eropa, Tahtâwî tercatat sebagai pemikir Muslim reformis yang untuk kali pertama merekam secara komprehensif dan cukup rinci budaya dan peradaban Perancis dengan pesona kekaguman yang sangat luar biasa. Catatan rihla itu berjudul Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz, yang terbit pertama kali tahun 1834 dan dicetak ulang pada 1848, 1905, dan 1958. Inilah studi etnografis atas "a strange land with strange customs", meminjam nomenklatur yang diperkenalkan Ibrahim Abu-Lughod (1963).
Yang memikat saya ketika membaca rekaman Tahtâwî selama di Paris dalam Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz adalah komitmennya mengaitkan peristiwa traveling (perjalanan, pengembaraan) dan the pursuit of knowledge (pencarian ilmu, thalab al-'ilm). Dalam deskripsi motivasi di balik perjalanannya ke Paris, Tahtâwî merujuk secara eksplisit pada teks keagamaan–"carilah ilmu meski ke China"-- sebagai justifikasi Islam atas anjuran traveling dan mobilitas dalam spirit mencari ilmu (Tahtâwî 1905:10). Di Paris Tahtâwî juga menimba ilmu secara lebih luas, mulai dari ilmu pengetahuan modern, teknologi, sejarah, geografi, politik, budaya, sampai peradaban Eropa. Dengan penuh antusiasme dan rasa ingin tahu ia pelajari pula ide-ide modernitas, Pencerahan Perancis, dan pendasarannya pada ideologi akal sebagai kunci utama kemajuan Eropa (Tahtâwî 1905:181-188). Dia jelaskan semua itu dengan penuh ketakjuban dan memperkenalkannya secara impresif ke dunia Islam.
Menjelang masa-masa terakhir di Paris, misalnya, draf awal salinan kitab Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz dimintakan komentar kepada orientalis terkemuka Perancis Armand-Pierre Caussin de Perceval (1795-1871). Komentar yang diberikan de Perceval sangatlah impresif, memuji secara tulus usaha-usaha Tahtâwî membangkitkan komunitas Muslim, memotivasi mereka mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat, dan memajukan kecintaan belajar pada budaya dan peradaban Eropa (Tahtâwî 1905:180-181).
Karena itu, keterkaitan antara traveling dan the pursuit of knowledge benar-benar terpantul secara representatif pada diri Tahtâwî. Penegasan ini sangatlah berarti sebagai teori revisionisme atas pendakuan Bernard Lewis perihal rendahnya semangat mencari ilmu di kalangan para pengembara Muslim ke benua Eropa. Dalam karya terkenalnya, The Muslim Discovery of Europe (2001), orientalis senior di Princeton itu membandingkan rendahnya spirit mencari ilmu di kalangan pengembara Muslim dengan tingginya rasa keingintahuan orang-orang Eropa ketika mengembara ke dunia Timur. Terdapat apa yang dituduhkan Lewis sebagai rasa kecukupan-diri dan superioritas di kalangan Muslim, sehingga pertanyaan mengenai pengembaraan Muslim ke Eropa dalam spirit pencarian ilmu pengetahuan tidak muncul. Malahan, kata Lewis, sejumlah literatur seputar pengembara Muslim lebih banyak terkait dengan rasa ketakjuban, kekaguman, dan kesenangan, ketimbang disertai dengan spirit pencarian ilmu pengetahuan (Lewis 2001:301).
Kecenderungan inilah yang dikontraskan oleh Lewis secara diametral dengan kebiasaan orang-orang Eropa yang mengembara ke dunia Timur untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, dan politik dunia Islam, dengan dua hal pokok: memenuhi tuntutan praktis perdagangan dan diplomasi; dan memuaskan rasa dahaga intelektual yang tak terbatas akibat dipicu Renaisans (Lewis 2001:80). Atas dasar itulah, Lewis lantas menafsirkan keterkaitan antara traveling dan the pursuit of knowledge sebagai fenomena khusus Eropa.
Dengan sadar saya memotret Tahtâwî sebagai amunisi intelektual untuk merevisi tesis Bernard Lewis. Traveling dan the pursuit of knowledge bukanlah fenomena Eropa semata, melainkan juga fenomena figur Muslim reformis seperti Tahtâwî dan pengembara Muslim lain ke Eropa seperti Khayr al-Dîn al-Tunisî. Pada ranah normatif Islam juga sangat menekankan aspek keterkaitan itu dengan meletakkan traveling dan the pursuit of knowledge sebagai kesatuan integralistik dari ajaran Islam itu sendiri.
Sarjana yang otoritatif dalam Islam klasik, Franz Rosenthal, sampai pada suatu kesimpulan bahwa "the ancient use of travel as a metaphor to describe man's sojourn on earth was widely accepted in Islam" (Rosenthal 1997:54). Karena itu, keterkaitan antara traveling dan mobilitas Tahtâwî ke Paris dan spirit mencari ilmu pengetahuan dapat ditafsirkan kembali sebagai bagian dari usaha Muslim reformis menemukan kembali Eropa.
"The Muslim Rediscovery of Europe"
Sejumlah akademisi sering kali menarik tesis umum bahwa invasi Napoleon ke Mesir tahun 1798, yang disertai dengan pendirian pusat orientalisme the Institut d'Egypte, merupakan bagian penting dari perjumpaan antara kekuasaan imperialisme Eropa dan dunia Arab sejak perang Salib (Naddaf 1986:73). Kita tahu bahwa Perancis datang ke dunia Arab dengan motif utama: kepentingan kolonialisme dan imperialisme. Namun, kehadiran Napoleon yang disertai dengan sejumlah orientalis terkemuka Perancis juga menandakan suatu fase baru. Itulah fase tumbuhnya tradisi orientalisme di kalangan orientalis Perancis meletakkan "the orient" sebagai suatu area yang menarik untuk diketahui dan direpresentasikan (Edward Said 1978).
Yang sering diabaikan oleh sejumlah akademisi, yakni perjumpaan kultural antara Barat dan Timur, juga memicu proses yang terbalik. Itulah proses di mana Timur juga terpicu oleh hasrat ingin tahu tentang Barat, lebih-lebih Eropa yang selama ini merepresentasikan dan menguasai Timur. Yang disebut Naddaf (1986) sebagai the reverse process ini sesungguhnya terekspresikan pada pengembaraan Tahtâwî ke Paris dengan menemukan kembali peradaban Eropa melalui rekaman komprehensif yang tertuang dalam Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz (1905). Eropa, lebih-lebih Perancis, menjadi area yang oleh Tahtâwî sangat menarik untuk diketahui dan kemudian direpresentasikan dengan penuh impresif ke dunia Islam, terutama Mesir.
Sebagai teks Arab yang sangat baik dan komprehensif, kitab Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz ini menyampaikan pesan penting kepada pembaca tentang bagaimana seorang pemikir reformis bernama Tahtâwî terpesona dengan penuh ketakjuban pada kebudayaan dan peradaban orang-orang Perancis. Tahtâwî, misalnya, begitu terpesona dengan kebajikan orang-orang Perancis, rasa keingintahuan mereka yang dalam, kecintaan mereka terhadap perubahan, kejujuran, kebebasan, demokrasi, serta pendasaran mereka pada ideologi akal-rasional sebagai kunci kemajuan Eropa (Tahtâwî 1905:60-82).
Meskipun berasal dari institusi pendidikan yang nonreformis seperti al-Azhâr, Tahtâwî begitu mudah hidup di benua baru yang disebutnya al-bilâd al-gharbiyyah. Di dunia Barat ini Tahtâwî tetap mengemban amanatnya sebagai imam dengan menjaga otentisitas dirinya sebagai seorang Muslim saleh, taat beribadah, berpuasa, dan membaca Al Quran (Heyworth-Dunne 1939:964). Namun, pada saat bersamaan, ia juga bersahabat secara akrab dan penuh suasana intelektual dengan para orientalis Perancis terkemuka seperti Silvestre de Sacy, Jomard, dan Caussin de Perceval (Tahtâwî 1905:71).
Persahabatan intelektual inilah yang kemudian dipakai Tahtâwî untuk meluruskan asumsi-asumsi keliru tentang orang asing (al-A'jâm) yang dikira tak paham bahasa Arab. Itu tidak benar, menurut Tahtâwî, sambil merujuk pada al-Bârûn Silvestre de Sacy. Keterpesonaan itu tampak pada cara Tahtâwî memotret de Sacy sebagai orang yang terhormat (fâdhil) dan terkemuka (syahîr) di kalangan orang Perancis atas pengetahuannya dalam bahasa Arab dan Persia. Lebih dari itu, Tahtâwî menyebut Maqâmât: Les Séances de Hariri (1822) sebagai bukti atas kecakapan bahasa Arab de Sacy dalam menafsirkan kitab Maqâmât karya al-Harîrî (Tahtâwî 1905:71).
Berkat perjumpaan dan persahabatan intelektual itu, Tahtâwî menjelajah ke dalam horizon pemikiran baru. Ia terpikat dengan bacaannya atas buku-buku filsafat Yunani, mitologi kuno, geografi, aritmetika, logika, hukum, sejarah, taktik militer, dan sejarah peradaban-peradaban. Dengan berbekal bahasa, pengetahuan, dan sumber-sumber Perancis yang tersedia, Tahtâwî membaca karya-karya pemikir Pencerahan Perancis seperti Voltaire, Rousseau, Racine, dan Montesquieu dengan penuh pesona kekaguman yang luar biasa (Tahtâwî 1905:187-90). Karya filsafat Voltaire tentang Questions sur l'Encyclopédie (1764) sungguh dibaca Tahtâwî dengan penuh semangat. Itulah yang disebutnya mu'jam al-falsafah (Tahtâwî 1905:188). Demikian pula karya terkenal Rousseau, Le Contrat Social, yang dalam kitab Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz (1905:188) diarabkan Tahtâwî menjadi aqd al-ta'annus wa al-ijtimâ'al-insânî.
Di antara pemikir favorit dan berpengaruh pada diri Tahtâwî adalah Montesquieu. Bersama dengan Monsieur Chevalier, Tahtâwî mempelajari dua volume Espirit des Lois atau the Spirit of the Laws karya Montesquieu. Keterpesonaannya pada Montesquieu antara lain dipicu oleh pertanyaan seputar kejayaan dan kejatuhan negara-negara. Aspek inilah yang langsung mengingatkan Tahtâwî pada sejarawan kelahiran Tunisia, 'Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn (1332-1406), yang karya terkenalnya, Muqaddima, menyurvei secara ensiklopedis seputar budaya dan ilmu pengetahuan Arab, terutama kebangkitan dan kejatuhan suatu peradaban. Itulah sebabnya, Ibn Khaldûn disebut-sebut Tahtâwî dalam Takhlîs al-Ibrîz ilâ Talkhîs Bârîz (1905:188) sebagai Montesquieu al-Syarq (Montesquieu Timur) atau Montesquieu al-Islâmî--the Montesquieu of Islam.
Tidak berhenti di situ. Gagasan Tahtâwî tentang nasion, bangsa, dan nasionalisme juga tumbuh bersemi selama ia menetap di Paris, dan benar-benar diderivasikan dari Montesquieu (Hourani 2002:70). Ini pertanda bahwa keterpesonaan Tahtâwî atas ide-ide itu dapat ditafsirkan sebagai usaha membangkitkan nasion, patriotisme, dan nasionalisme orang-orang Mesir agar melepaskan diri dari kekuasaan Turki. Terbukti, sepulangnya dari Paris, Tahtâwî hadir sebagai konseptor tentang nasion (watan-Arab, patrie-Perancis), terutama untuk orang-orang Mesir, sebagai komunitas yang tersatukan secara kultural dan politik. Kepada saudara-saudarinya di Mesir, demikianlah Tahtâwî berpesan, "kecintaan pada bangsa adalah basis kebajikan politik"—l’amour de la patrie conduit à la bonté des moeurs—(Hourani 2002:70). Ini pertanda bahwa ide nasion dan nasionalisme tidak saja mengalami proses transliterasi dan transmisi dari suatu negara ke negara lain, melainkan juga mengalami proses konkretisasi dari alam ide ke dunia realitas sebagai basis loyalitas politik Tahtâwî pada Mesir.
Dalam kerangka itulah saya sulit berbeda pendapat dengan sarjana hebat Albert Hourani ketika ia menarik kesimpulan bahwa "gagasan Pencerahan Perancis meninggalkan bekas yang permanen pada diri Tahtâwî dan, melalui dia, sampai pada pikiran orang-orang Mesir" (Hourani 2002:69). Setibanya di Kairo pada musim semi tahun 1831, Tahtâwî mencurahkan kariernya sebagai intelektual Muslim reformis yang menstransliterasikan dan mentrasmisikan ide-ide dan kemajuan Perancis ke dunia Islam, terutama Mesir. Proyek transliterasi dan transmisi secara masif saat itu jelas berperan signifikan dalam membangunkan suatu kesadaran kolektif orang-orang Mesir akan pentingnya renaisans kultural dan intelektual dengan itikad baik untuk mau dan terus belajar secara bijak aspek-aspek budaya, peradaban, dan kemajuan Eropa.
Dalam proses itu Tahtâwî relatif sukses menjembatani jurang pemisah antara dua dunia, budaya, tradisi, dan ide yang berbeda dengan memerankan dirinya sebagai "intelektual Mesir pertama yang sepenuhnya memahami nilai-nilai ideal Barat yang ia transmisikan ke komunitasnya yang konservatif tanpa prasangka negatif" (Moosa 1997:6). Mobilitas figur seperti Tahtâwî ternyata dapat bermetaformosis secara indah dengan mobilitas ide dan gagasan (Pencerahan).
Oleh; Sukidi
Mahasiswa PhD dalam Studi Agama di Universitas Harvard, Cambridge, Massachussets, AS, dan Kader Muda Muhammadiyah
Sumber; Bentara KOMPAS; Agustus 2006
Komentar :
Posting Komentar