Harian Kompas (sabtu 25 Agustus 2007) menurunkan tulisan bertajuk “Peradaban kita di periode stagnasi”. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih tumbuh suburnya budaya menerabas, yang ujung-ujungnya menafikan kerja keras dan kreatifitas. “Padahal_menurut cendekiawan Safi’i Maarif, masih dalam tulisan tersebut_sebuah bangsa yang tidak peduli terhadap kerja dan karya kreatif anak bangsanya sendiri, dalam perjalanan waktu, akan sulit diharapkan mampu melakukan terobosan untuk mempercepat kemajuan”....
100% Aku sepakat dengan Buya Safi’i Maarif.....
#
Membaca tulisan tersebut membuat ingatanku menjadi segar kembali, sewaktu masih duduk dibangku SMU, seorang guru sosiologi-antropologi pernah mengejek seisi ruangan dengan menyodorkan hasil penelitian ilmiah seorang antropolog Prof. Koentjoroningrat yang mengatakan, bahwa kita, tipologi manusia indonesia memiliki budaya yang kurang bagus, yaitu budaya suka menerabas (cari jalan pintas), inersia (kurang kreatif/tidak inovatif), kurang respek (bahkan takut &/ cenderung resisten) terhadap hal-hal baru yang mendasar, serta beberapa hal lagi yang aku udah lupa........ Waktu itu, aku cuma bisa bertanya; yang bener aja? Masa sih kita manusia-manusia Indonesia sejelek itu?
Seiring dengan perjalanan hidup yang aku temui sampai hari ini, juga selama di Jogjakarta maupun sekarang di Jakarta, menjadikan aku semakin meyakini bahwa simpulan Koentjoroningrat tersebut (terlepas dari rasa tak suka mau pun duka-lara) adalah merupakan fakta yang tak terbantahkan, bahkan masih aktual hingga hari ini. Men-teori-kannya mungkin terlalu amat rumit dan susah banget buat orang awam sepertiku, tetapi memberikan contoh mungkin dapat dilakukan oleh semua orang. Menurut hemat pikirku, korupsi & kolusi adalah pengejawantahan nyata dan paling aktual dari budaya/sikap suka menerabas dan inersia yang saling berjalin-berkelindan.
Ketika budaya menerabas mewujud diranah politik, maka yang muncul adalah prilaku machiavelis. Ketika budaya menerabas mewujud diranah ekonomi-bisnis, maka yang nampak adalah prilaku moral hazard. Ketika budaya menerabas mewujud diranah hukum, maka seperti yang diberitakan di koran-koran; besarnya suap/perasan menjadi penentu putusan & kebenaran. ...........
Ya.., inilah wajah Indonesiaku sampai hari ini
#
Yang menjadi pertanyaanku adalah sejak kapan sikap/budaya menerabas__dalam konteks yang lebih luas, aku lebih suka menyabutnya dengan “menghalalkan segala cara”__menjadi bagian yang akrab dengan kehidupan manusia indonesia?..... (maaf, karena tentu tidak semua manusia indonesia begitu, ini hanya semata-mata hanyalah generalisasi subjektifku atas simpulan Koentjoroningrat).
Mencari jawab yang pasti tentu sangat sulit, tapi sejauh yang dapat aku pahami secara sederhana sementara ini adalah bahwa budaya menerabas tersebut mulai populer dan secara spektakuler dipertontonkan oleh Ken Arok 800-900 tahun yang lalu, setidaknya itu menurut beberapa novel sejarah yang sempet aku baca_terlepas dari subjektifitas tafsir atas sejarah oleh penulisnya_, diantaranya Arok Dedes & Arus Balik keduanya karya Pramoedya Ananta Toer, juga dinovel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi (aku baru baca sampai buku ke-3), cerita tentang gambaran perilaku machiavelis yang tak kalah spektakuler juga digambarkan dalam novel Senopati Pamungkas (I & II) karya Arswendo Atmowiloto.
Dari novel-novel sejarah tersebut, yang ditulis berdasarkan hasil riset dan dengan latar belakang sejarah yang hampir sama, yaitu disekitar jaman kerajaan Singasari hingga kerajaan Majapahit, aku menyimpulkan bahwa kemunduran dan bahkan kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut bukanlah disebabkan oleh serbuan dari kekuatan kerajaan lain dari luar nusantara, bahkan kekuatan kerajaan Tar-tar dibawah kendali Khan Yang Agung (gelar raja) dari Mongolia yang telah kondang menundukkan daratan Eropa, menggetarkan sisa-sisa imperium Romawi dan Persia serta menggilas Jazirah Arab mampu dipecundangi dan dihalau-taklukkan oleh kekuatan nusantara pada saat itu.
Kemunduran dan kehancuran kerajaan nusantara justru lebih banyak disebabkan dari dalam, oleh ketidakmampuan mengelola kerajaan yang semakin besar (baca: inersia), serta perpecahan internal, intrik-intrik machiavelian dalam arena tarung memenangkan ambisi (ingat sumpah palapa Gajah Mada, perang Paregreg, perang Bubat, dll) dan memperebutkan kuasa atas harta-wanita-tahta. Atas semua itu, dalam catatan sejarah_setidaknya yang aku pahami_segala tatanan, norma, pakem dihirau-acuhkan.
Dan ternyata, kondisi yang demikian itu terus terwariskan hingga sepertinya menjadi tradisi buruk bagi nusantara, bahkan ketika kejayaan Majapahit hanya menyisakan raja-raja kecil di tanah jawa. Dalam catatan Pramoedya lewat Arus Balik, kekalahan kekuatan nusantara, yang merupakan gabungan kerajaan-kerajan dijawa dan sumatra hingga Aceh dalam melawan kekuatan portugis di Selat Malaka tak lepas dari masih suburnya tradisi buruk ala Ken Arok, yang justru ketika penyerbuan ke Selat Malaka dilakukan, raja-raja kecil di jawa saling berebut kekuasaan.
Maka setelah itu, rasanya habis sudah kekuatan nusantara. Kalaupun ada sangatlah tidak berarti. Orang-orang bule-kolonial datang silih berganti menggagahi nusantara. Portugis-Inggris-Belanda. 350an tahun nusantara di injak tanpa ronta yang berarti.
#
Akankah nusantara menemukan kembali kejayaannya???
Hari ini, 62 tahun yang lalu Indonesia mendeklarasikan kemeredekaan, meski hari ini juga, aku dan banyak pribumi lainnya masih melekatkan tanda tanya (?) dibelakang kata merdeka. MERDEKA?....
......Aaaahhh
Komentar :
Posting Komentar