Kapan Kita Merdeka? *
Kenapa begitu ingin ku kenang lagi hari itu
setelah entah sejak kapan rabuk anarki ini
telah manjadi serbuk pembangkit nafsu
penguasa dan warga berlomba melanggar rambu-rambu
Sepertinya baru semalam
kita menahan nyeri lebam sisa meriam
merayap tanpa ratap menuju gerbang kebebasan
lupa pada marga juga warna panji ideologi
bersatu rasa menantang senjata si angkara
bertaruh nyawa demi sebuah makna merdeka
ternyata...
Kenapa rindu ini semakin berdentam
sedang merah putih tak lagi meninggalkan lebam
sedang yang mewah dan megah
membentang dari aceh sampai ujung papua
tak ada lagi kepala terpenggal sia sia
tak ada lagi rupa bengis dan tindak sadis tentara jepang dan nica
bukankah benih revolusi telah jadi pemenang
bukankah pengorbanan para pejuang telah melahirkan zaman gemilang
tapi mengapa udara semakin terasa berat dan sesak
dan mengapa airmata masih mengalir bahkan semakin terasa anyir
di tanah yang kaya ini,
anak anak desa menyanyikan lagu derita
di bumi para dewa ini,
anak anak kota terlantar dan menjadi liar ditiap perempatan jalan dan gang-gang kumal
dan mengapa duka derita itu masih saja menjalar bahkan terasa semakin meradang
Ternyata lebih setengah abad sudah proklamasi itu berbunyi
tapi sepertinya kita mulai lupa pada rasa dan makna kata merdeka
lalu apakah di tengah belantara kelinglungan jati diri ini,
kita masih tetap berani mengucap bait-bait proklamasi?
Kenapa mimpi itu kerap saja mengganggu dan membangunkan tidur lelapku
impian tentang jembatan kemerdekaan
yang membawa kita pada cahaya purnama gemilang
yang menerangi adil dan sejahteranya rakyat bangsa kita
berkali sudah penguasa tiran jatuh bangun
terus berjanji dan menghianati amanat hati nurani
makna merah dan putihnya sangsaka begitu lama ternoda
arti hakiki pancasila sakti telah lama dipaksa mati
oleh segala bungkam dan kerdilnya diri kita ini
kita terpaksa hidup dalam belenggu
kita terbiasa melahap segala janji yang tak pernah ditepati
kita menjadi begitu sangat terbiasa tentram hidup dengan segala kebohongan
kita tahu itu, sayang hanya diam dan bungkam yang mampu kita lakukan
itukah durhaka kita, lupa menjaga negara dengan rasa cinta
maka perlahan kita pun menjadi batu-batu
dan terus membeku di tengah penipuan dan kepalsuan segala macam orde pemerintahan
sebaiknya mari kita belajar untuk hidup di atas kaki sendiri
mencoba dan terus mencoba
tidak lagi menggangtungkan diri pada segala macam janji
Sepertinya baru semalam
darah dan paras getas kawan kawan pejuang masih saja tergambar
parang di tangan kanan
belati di tangan kiri
melesat mereka merebut impian bersama
tak ada beda
tak tampak lagi strata dan kasta
mereka menderu di tengah hujan peluru
menghujamkan gelora kebebasan
tepat di jantung tentara sekutu
menjadi martir bagi tegaknya panji suci martabat sebagai bangsa sejati
Hari ini impian dan cita mereka masihkah tetap bersama kita?
hari ini jiwa dan raga mereka yang terbujur kaku
masihkah mengendap dalam jiwa semangat impian besar kita?
hari ini keringat dan pengorbanan mereka
masihkan menjadi jimat dari kalimah derap perjuangan kita?
hari ini masihkah kita sanggup sekedar merenung di tengah jalan mendung arah gerak pembangunan yang berjalan mundur?
hari ini masihkah puisi-puisi berat mereka menjadi kiblat dari kesadaran kita?
*) Penggalan puisi karya; Heri Mardi "Cokro" Purwanto
Komentar :
Posting Komentar