27 Agustus 2007

Islam, Radikalisme, Dan Politik Global


Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk Indonesia. Reaksi keras yang hampir serentak di dunia Islam terhadap kasus karikatur Nabi Muhammad hanya riak kecil dari serangkaian gelombang radikalisme yang lebih besar.

Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politik umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri.


Secara ekonomi pun umat Islam tidak lebih baik. Kelompok Islam radikal menganggap kepentingan ekonomi umat Islam tidak dilindungi, bahkan diabaikan dan dipinggirkan. Sementara itu, dalam konteks sosial budaya, umat Islam semakin kehilangan orientasi dengan makin kuatnya serbuan budaya Barat. Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan kelompok-kelompok Muslim kemudian tercerai-berai akibat jebolnya pertahanan budaya yang dimiliki umat Islam.

Dalam suasana seperti itulah Islam radikal mencoba melakukan perlawanan. Perlawanan itu, menurut Marty E Martin dan R Scott Appleby (1993), muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Untuk itu mereka juga berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata-sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir mereka juga mendaku bahwa perjuangan mereka atas nama Tuhan atau ide-ide lain.

Konteks global

Iran dan Mesir adalah dua negara yang dianggap paling inspiratif dalam melahirkan Islam radikal di negara-negara lain. Fenomena revolusi Islam Iran 1979 dianggap banyak pengamat sebagai salah satu bentuk radikalisme Islam yang kemudian mengilhami kaum Muslim di banyak negara melakukan hal serupa. Sementara itu, di Mesir lahirnya al-Ikhwan al-Muslimun yang dibidani oleh Syaikh Hasan Al-Banna (1906-1949) pada April 1928 mengalami perkembangan pesat yang ditandai oleh tersebarnya organisasi ini di kurang lebih 70 negara, tidak hanya di Timur Tengah tapi juga di wilayah lain.

Ada satu benang merah yang dapat ditangkap dari maraknya radikalisme di dunia Islam, yakni respons atas makin kuatnya dominasi dan hegemoni Barat di dunia Islam. Pada awalnya fundamentalisme Islam muncul sebagai gerakan pemikiran untuk mendefinisikan Islam sebagai sistem politik, mengikuti ideologi-ideologi besar abad ke-20. Mereka berusaha menandingi—dan kalau bisa menggantikan—ideologi-ideologi besar yang berkembang saat itu. Namun, seiring dengan semakin kuatnya hegemoni dan dominasi Barat, gerakan Islam kemudian mengambil wujud baru yang disebut Oliver Roy (1996) sebagai neofundamentalisme yang mencoba memperjuangkan syariat Islam dan melupakan Islam sebagai ideologi politik.

Menurut Mark Juergensmeyer (1993), radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekuler yang dianggap tak mampu mengakomodasi aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal, menurut Juergensmeyer, tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu: sekularisme dan materialisme.

Penolakan terhadap sekularisme menguat karena sistem itu tak memberi tempat bagi ajaran Islam, terpinggirkannya kaum Muslim, serta kian parahnya krisis yang melanda dunia Islam. Celakanya, ideologi sekuler itu justru semakin kuat pengaruhnya di dunia Islam.

Meluasnya Islam radikal di dunia Islam tentu saja membuat Amerika khawatir dan ketakutan. Peristiwa peledakan WTC dan Pentagon (11/9) jelas-jelas membuat Amerika terperangah. Tidak tanggung-tanggung, Amerika menabuh genderang perang melawan terorisme yang diyakini sebagai hasil perbuatan Islam radikal dengan tokoh utamanya Osama bin Laden. Namun, sikap Amerika yang secara terbuka menyatakan perang terhadap kelompok Islam radikal sebetulnya bukan representasi dari seluruh kebijakan Amerika secara umum. Soalnya, baru pada pemerintahan Bush (yunior), Amerika menyatakan perang secara terbuka terhadap Islam radikal.

Menurut Fawaz A Gerges (1999), ada tiga hal yang mendasari sikap Amerika terhadap apa yang disebutnya sebagai "Islam politik".

Pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam. Ini dikhawatirkan akan memperparah sikap mereka terhadap Amerika. Para pejabat Amerika, menurut Gerges, tak mau mengulangi kesalahan yang dibuat saat menghadapi revolusi Islam di Iran.

Kedua, AS ragu-ragu secara terbuka mendukung kelompok Islam mana pun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya atau kepentingan sekutunya. Pejabat-pejabat Amerika mengidap kecurigaan besar pada tujuan kebijakan luar negeri para aktivis Islam berikut agenda mereka.

Ketiga, di dalam lingkaran para pembuat kebijakan luar negeri AS, terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara negara Islam dan demokrasi. Pandangan Amerika sudah dijejali dengan masukan-masukan implisit mengenai perilaku politik Islam, melihat Islam revolusioner itu antidemokratis dan otoriter. Jadi, bukannya memberikan panduan kebijakan yang konkret, pernyataan-pernyataan resmi AS jadinya berbentuk bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam interpretasi.

Gambaran mengenai sikap Amerika terhadap negara-negara Islam di atas sejalan dengan pandangan para pembuat opini di Amerika yang secara umum terbelah dua: kubu akomodasionis dan kubu konfrontasionalis. Kedua kubu, menurut Gerges, tampak seperti mengulang pertempuran, tapi di sini Islamisme menggantikan komunisme sebagai "musuh baru" atau "tantangan" bagi kepentingan-kepentingan vital Amerika.

Kebanyakan konfrontasionalis menganggap bahwa dalam praktiknya, Islam dan demokrasi itu berlawanan. Para konfrontasionalis berpendapat "kaum fundamentalis Islam", seperti halnya totalitarian komunis, sudah terlahir antidemokrasi dan sangat antibarat dan dalam berbagai hal menjadikan Barat sebagai sasaran.

Kubu akomodasionis menolak deskripsi islamis yang digambarkan para konfrontasinalis sebagai antibarat atau antidemokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok oposisi politik islamis dan minoritas ekstremis yang cuma sedikit. Mereka berargumen bahwa sudah terlalu sering para akademikus, pemerintah, dan media menonjolkan tindakan kelompok keras yang kecil-kecil dan mengecilkan peran gerakan nonpolitis maupun politis moderat. Pembentukan gambaran Islam yang monolitik, menurut mereka, mengarah ke suatu penyederhanaan agama yang melihat konflik-konflik politik di dunia Islam dalam ungkapan religius, yaitu sebagai pertikaian Islam-Kristen.

Kubu akomodasionis melihat kebangkitan Islam sebagai hasil dari kepedihan sosial-ekonomi dan politik. Yang ditentang oleh islamis, menurut mereka, adalah kebijakan-kebijakan tertentu Barat yang dilihat mempertahankan kelangsungan dominasi Barat serta ketergantungan dan posisi bawahan masyarakat Muslim. Termasuk ke dalam kebijakan ini dukungan Washington terhadap rezim korup dan represif Timur Tengah, dukungan tanpa syarat AS bagi Israel, serta sejarah panjang intervensi ekonomi dan militer Amerika di kawasan ini secara khusus, masalah Israel menciptakan beban emosional dan historis yang begitu berat bagi dunia Muslim. Inilah titik sentral kekecewaan yang dirasakan umat Muslim terhadap Amerika Serikat.

Sayangnya, dalam banyak kebijakan Amerika, kubu akomodasionis tidak begitu didengar oleh pembuat kebijakan luar negeri Amerika, khususnya dalam masalah Timur Tengah. Itulah sebabnya, radikalisme agama sangat subur di kawasan ini. Dalam perkembangannya, gerakan yang sama meluas ke berbagai negara Muslim lain, termasuk Indonesia. Bahkan, belakangan radikalisme seperti berubah wujud menjadi terorisme meski tak semua kelompok radikal bisa dikaitkan dengan terorisme.

Kasus Indonesia

Dalam kasus Indonesia, pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan hal baru dalam sejarah. Menurut Muhammad Imdadun (2003), semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks keagamaan, pengetahuan, dan politik, transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam. Negara-negara yang memiliki kota-kota suci dan pusat ilmu pengetahuan selalu dikunjungi orang Indonesia, baik untuk berhaji, ziarah, maupun belajar. Dari aktivitas ini kemudian muncul berbagai bentuk jaringan, baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah, maupun jaringan gerakan politik.

Konteks politik di Indonesia juga menjadi alasan lain kemunculan Islam radikal. Ada kesamaan antara gerakan Islam radikal di Indonesia dan Timur Tengah. Sebagaimana ditunjukkan Abdurrahman Kasdi (2002), gerakan Islam radikal di Timur Tengah bisa diklasifikasi dalam tiga kategori.

Pertama, gerakan itu terjadi di negara-negara yang pemerintahannya otoriter seperti di Irak dan Suriyah. Al-Mujahidin di Irak menentang kediktatoran Saddam Hussein, demikian halnya al-Ikhwan di Suriyah yang menentang rezim Hafidh al-Asad.

Kedua, hal yang sama terjadi di wilayah yang dijajah dan diduduki kekuatan asing, seperti di Palestina. Fundamentalisme di Palestina yang bahkan termanifestasi dalam bentuk yang ekstrem melalui jalan kekerasan merupakan reaksi terhadap kekerasan politik yang dilakukan Israel.

Ketiga, gerakan radikal lahir di negara yang kebijakan pemerintahannya dipandang terlampau memihak ke Barat seperti Mesir dan Iran prarevolusi. Munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir tak lepas dari sentimen massa menentang kebijakan pemerintah yang dinilai pro-Barat dan cenderung memarjinalkan peran kaum agamawan.

Dari tiga kategori di atas, faktor pertama dan ketiga terjadi di Indonesia, baik sebelum maupun setelah Orde Baru. Sejak awal kelahirannya, sikap Orde Baru terhadap umat Islam mengikuti pola kebijakan yang diterapkan Belanda: bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Tapi, sikap ini segera berubah menjadi keras dan tegas ketika Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang menentang kehendak penguasa. Itulah sebabnya, Orde Baru dengan cerdik mengantisipasinya melalui tiga cara.
Pertama, menumpas habis segala bentuk kelompok Islam sebagai kekuatan politik yang menentang penguasa, baik dengan cara represif (diciduk, diadili, dipenjarakan) maupun dengan cara hegemoni melalui stigmatisasi "ekstrem kanan" yang dianggap akan menggantikan Pancasila dengan ideologi lain (baca: Islam).

Kedua, membersihkan institusi politik partai dari unsur-unsur agama. Maka, muncullah kebijakan asas tunggal pada awal tahun 1980-an sebagai bagian dari upaya mengebiri partai Islam dari basis konstituennya.

Ketiga, merangkul kelompok-kelompok Islam moderat yang dapat memberikan dukungan terhadap kekuasaan serta tidak membahayakan struktur kekuasaan sebagaimana terlihat dari sikap penguasa Orde Baru terhadap ICMI pada awal dekade 1990-an. Mereka ini bahkan juga diberi akses kekuasaan yang lebih besar dari sebelumnya.

Dalam perkembangannya, Orde Baru memperluas jangkauannya dengan merangkul kelompok Islam garis keras. Kelompok inilah yang oleh Robert W Hefner (2000) diistilahkan sebagai "Islam Rezimis". Padahal, sebelumnya mereka termasuk kelompok yang berusaha ditumpas habis termasuk juga dengan mengecap mereka sebagai "ekstrem kanan" yang harus senantiasa diwaspadai.

Sampai di sini, momok ekstrem kanan yang dulu begitu diwaspadai oleh Orde Baru seolah menjadi "macan ompong". Maka, istilah "ekstrem kanan" seolah-olah hilang dari kamus politik Indonesia. Namun, Orde Baru melupakan satu hal: meski rezim ini telah berhasil "menjinakkan" umat Islam, Islam radikal sebetulnya sudah mengalami "metamorfosa". Kelompok Islam radikal memang berhasil "ditumpas" rezim Orde Baru pada tahun 1980-an. Namun, dalam waktu hampir bersamaan generasi di bawahnya diam-diam membangun jaringan di kampus-kampus.

Maraknya kelompok-kelompok pengajian kampus pada akhir 1980-an yang terkenal dengan sebutan "kelompok tarbiyah" adalah contoh konkret dari keberhasilan kaum muda idealis ini dalam membangun jaringan yang solid ke berbagai daerah di Tanah Air. Mereka adalah generasi baru Islam yang kecewa terhadap generasi di atasnya yang dianggap telah berkhianat karena berkoalisi dengan rezim yang dulu menindas mereka. Melalui kelompok inilah transmisi Islam radikal di Timur Tengah berkembang di Indonesia, khususnya di kampus-kampus umum.

Meski kemunculan mereka terfragmentasi dalam beragam organisasi, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok tersebut sekaligus menjadi faktor pembeda dari Muslim mainstream di Indonesia. Beberapa benang merah itu antara lain adalah pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.

Tumbangnya rezim Orde Baru membuka pintu bagi mereka untuk memulai gerakan secara lebih leluasa. Kalau sebelumnya mereka bergerak di bawah tanah, setelah era reformasi mereka lebih berani tampil ke permukaan secara terang-terangan. Ini memang menjadi bagian dari eforia kebebasan yang melanda bangsa ini. Bagi sebagian kalangan, kemunculan mereka dianggap mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi lantaran sebagian di antara mereka menggunakan cara-cara kekerasan memperjuangkan aspirasi mereka. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim.

Agus Muhammad Peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
Sumber; Bentara KOMPAS, Juli 2006

Komentar :

ada 1
Cemol mengatakan...
pada hari 

Opini anda sangat menarik...
Cuman, kasus permusuhan antara barat (atheis) dan islam kayaknya memang sudah tidak bisa dielakkan lagi, kalau mau silahkan kunjungi :
http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=14724&view=next&sid=c682e2fd365e553cebaf14c21721a798

TErlihat bahwa berbagai macam tindakan untuk memurtadkan orang islam... SUDAH MUNCUL.

TAPI, anda jangan coba-coba baca forum or ikut artikel ini tanpa IMAN yang kuat...

Posting Komentar