10 April 2008

Suap Anggota DPR

Sungguh Menyebalkan… !!!

Itulah perasan saat mendengar berita penangkapan anggota DPR yang tertangkap tangan KPK dalam kasus korupsi (atau tepatnya kolusi) pengaliah fungsi hutan lindung di kabupaten Bintan. Parade penangkapan pejabat public yang dilakukan oleh KPK selama ini, plus dramatisasi oleh media massa (pers) tidak menjadikan “calon” koruptor jera dan menghentikan perbuatan korupnya yang masih berlangsung.

Beberapa waktu lalu, KPK menangkap jaksa Urip, yang diduga kuat terkait dengan kasus BLBI, pun demikian, proses eksekusi oleh KPK atas penangkapan jaksa Urip dilakukan secara dramatis. Ruang public pasca peristiwa itu bercampur aduk; marah, jengkel, prihatin, sedih, dll. Luapan emosi public tumpah ruah didunia maya, mulai dari komentar miring disetiap headline surat kabar yang menyediakan komentar pembaca, hingga email, milist, dan blog.

Tidakkah pemakzulan public ini membuat “daftar antri” yang akan ditangkap KPK hilang?.... ternyata tidak. Bagi KPK hari ini, sejarah (penangkapan koruptor) akan berulang, berulang dan terus berulang.

Pertanyaannya adalah, “mengapa sejarah harus berulang?”. Tentu pertanyaan ini tidak untuk ditujukan kepada KPK, tetapi untuk daftar antri tangkapan KPK. Bukankah sejarah adalah guru yang paling berharga, sehingga siapa yang tidak mengambil pelajaran berharga dari sejarah akan dihukum dengan mengulanginya. Artinya, jika penangkapan KPK dan pemakzulan public tidak membuat jera, malu dan terhinakan, maka silahkan menunggu dieksekusi oleh KPK…

Entah bagaimana para ahli perilaku manusia (baca: psikiater) akan menjelaskan fenomena ini. Dan entah “kegilaan” macam apa yang menghinggapi bangsa ini, hingga terus menerus kita disuguhi parade penangkapan pejabat Negara oleh KPK. Hari ini, “teori efek jera” masih terbantahkan dalam soal penangkapan dan penghukuman pelaku korupsi.

Kita bertanya, mengapa rangkaian penangkapan terhadap beberapa tersangka korupsi tidak menimbulkan efek jera. Efek publisitas yang luas, yang kadang berdimensi mempermalukan secara sosial, ternyata tidak punya dampak, meski sudah banyak pelaku koruptor dijebloskan kepenjara, tetap saja “daftar antri” seolah tak ada habisnya, dan tinggal menunggu waktu saja.

Sistem nilai tampaknya sudah bergeser. Terpidana korupsi yang selesai menjalani hukuman disambut hangat oleh komunitasnya. Mereka kembali tampil sebagai figur publik, tanpa beban. Mereka yang tertangkap memersepsikan diri sebagai ”yang sedang sial karena ketahuan” karena sebenarnya, menurut persepsi mereka, praktik serupa juga dilakukan orang lain.

Korupsi telah menjadi sesuatu yang banal!


Komentar :

ada 0 Komentar ke “Suap Anggota DPR”

Posting Komentar