21 April 2008

Udang & Nasionalisme Ala Jepang

Celoteh ini, awalnya merupakan catatan travelling dari luar kota, tepatnya kota Pati - Jawa Tengah beberapa waktu lalu (February 2008). Dikarenakan keberangkatan pesawat pulang ke Jakarta dibatalkan sepihak oleh Sriwijaya Air karena bandara Sukarno Hatta terendam air (bandara internasional RI kebanjiran coy...?!), maka terdamparlah aku disebuah hotel dipinggiran kota Semarang.

Terus meratapi malangnya negeri ini yang tak kunjung usai didera derita-duka-nestapa dan bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun yang (sebagian besar..!) disebabkan faktor kebebalan berpikir dalam mengelola negeri, bisa-bisa hilanglah semangat & motivasi hidup di Indonesia. So, kayaknya akan lebih baik kalo melarikan diri kehal-hal positif lainnya… Nah, disitulah tulisan yang bercerita tentang “Udang & Nasionalisme ala Jepang “ ini bermula…

Bekerja untuk sesuap nasi. Itulah yang membawaku kesebuah perusahaan swasta (PMA dari Jepang) yang bergerak dibidang perikanan (maaf, saya tidak bisa menyebut nama perusahaan disini), yang memproduksi udang beku siap olah dan hanya diekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika. Sebagai catatan, ekspor ke Eropa & Amerika hanya setelah kuota untuk Jepang terpenuhi. Untuk penjualan dalam negeri, hanya dijual ketempat-tempat yang memiliki afiliasi Jepang, misal; hotel dan restoran yang menyediakan masakan khas Jepang.

“Mr.Umaeda…” begitulah 500-an lebih buruh di perusahaan itu akrab menyapa pria Jepang yang telah bertahun-tahun menetap di Pati untuk memonitor langsung operasional perusahaan. Selama di Pati, bersamanyalah aku dan rekan kerjaku tinggal dirumahnya, dan selama itu pulalah aku sedikit memahami tipologi masyarakat Jepang, etos kerja, etika bisnis, dan yang lebih penting dari semua itu adalah “rasa nasionalisme” yang menyertai setiap pebisnis Jepang baik didalam maupun di Luar negeri. (catatan; tentu ini pemahaman subjektif).

Baginya, menghasilkan produk udang beku dengan kualitas terbaik untuk kemudian di ekspor (dari Indonesia) ke Jepang merupakan bentuk lain dari pengabdian kepada negaranya, melayani negaranya. Untuk menjaga kualitas itu, pernah suatu ketika, beberapa kontainer udang beku yang siap ekspor harus dibongkar dan diperiksa ulang seluruh isinya hanya karena satu kotak/bungkus udang beku terdeteksi oleh metal detector, setelah diperiksa ternyata didalam salah satu tubuh udang terdapat logam sisa penjepit kertas (baca: stapes). Tak mau mengambil risiko untuk konsumen dinegaranya, iapun membongkar & memeriksa ulang isi tiap kemasan. Lantas…?

Miliaran rupiah biaya yang harus ditanggung perusahaan atas pembongkaran & pemeriksaan ulang tersebut. Harga yang teramat mahal untuk satu biji stapels. Tetapi tidak seberapa dibandingkan keselamatan konsumen dinegaranya, Jepang.

Ada cerita lain lagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan-perusahaan di Jepang yang membutuhkan bahan baku atau apapun kebutuhan lain bagi bisnis dan usahanya, sedapat mungkin ia akan mencari dari luar Jepang lewat pihak-pihak yang masih mempunyai afiliasi bisnis di negeri Jepang. Atau paling tidak lewat pihak ketiga yang tidak mempunyai afiliasi bisnis, namun masih berkebangsaan jepang. Adapun pihak non-Jepang adalah pilihan terakhir jika memang sudah tidak ada pilihan lain.

Bukan merupakan sebuah kebetulan, jika pihak-pihak yang berhubungan dalam proses bisnis, mulai dari pihak ketiga (perusahaan) yang membangun pabrik, perusahaan jasa penyedia & pemasangan alat pendingin, hingga konsultan manajemen-keuangan adalah perusahaan yang berbendera Jepang, atau setidaknya berbau Jepang… meskipun pertimbangan maksimalisasi profit & minimlisasi biaya ada disetiap kepala “kapitalis” pebisnis Jepang dalam pengambilan keputusan bisnis, tetap saja ikatan rasa satu bendera “ke-Jepang-an” mereka memainkan peran penting.

Dear all, itulah yang kemudian aku sebut sebagai “etika bisnis” yang dilandasi oleh nasionalisme, yah…. nasionalisme ala Jepang!


Komentar :

ada 3 Komentar ke “Udang & Nasionalisme Ala Jepang”
Anonim mengatakan...
pada hari 

Salam kenal dan salam persaudaraan dari Jakarta :

http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/04/23/negara-tidak-berhak-membubarkan-ahmadiyah/

Anonim mengatakan...
pada hari 

Untuk menjaga kualitas itu, pernah suatu ketika, beberapa kontainer udang beku yang siap ekspor harus dibongkar dan diperiksa ulang seluruh isinya hanya karena satu kotak/bungkus udang beku terdeteksi oleh metal detector, setelah diperiksa ternyata didalam salah satu tubuh udang terdapat logam sisa penjepit kertas (baca: stapes). Tak mau mengambil risiko untuk konsumen dinegaranya, iapun membongkar & memeriksa ulang isi tiap kemasan
Hebat. Ini yang namanya profesional , ya pak ?

Kalau perusahaan Idonesia mungkin sebaliknya; ketemu staples satu, dibiarkan dan lembar kontrol gak ditulis apa-apa.

Anonim mengatakan...
pada hari 

Bung Blackenedwing, tak perlu pesimis dan sinis yang satir seperti itu, Jika bangsa jepang bisa melakukannya, kitapun pasti bisa melakukannya. INDONESIA BISA...!!!

Posting Komentar