01 Agustus 2008

Kendala Konsistensi Bloging

Mahalnya harga sebuah konsistensi.

Yah, setidaknya itu yang aku rasakan berkenaan dengan aktifitas blogingku. Nyaris tiga bulan tak ku jamah blog ini. Alasannya adalah sangat klasik; kesibukan bekerja untuk sesuap nasi, cq. urusan perut. Dan setelah aku pikir-pikir, aktivitas bloging ternyata boleh jadi semacam “kemewahan” yang dalam kacamata baca Marxian merupakan khas konsumsi kelas menengah atas atau meminjam istilah yang kerap digunakan oleh kaum marx-sis dengan nada umpatan yaitu; kaum borjuis. Ini boleh jadi benar untuk blogger yang tiap hari bisa bloging. Sedangkan aku, tentu dalam kacamata baca yang sama; Marxian, adalah masuk dalam ketegori kaum proletar yang masih sibuk berkutat dengan pemenuhan kebutuhan pada level bawah ala Abraham Maslow….

Tapi yang jelas sampai dengan hari ini aku masih menikmatinya. Meski tentu saja ada harga yang harus dibayar. Singkatnya; “Aku bekerja, maka aku ada”, begitu kata Karl Mark.

#

Celoteh yang pernah aku postingkan beberapa waktu lalu, kunyatakan bahwa yang terpenting dari aktivitas bloging adalah konsistensi, baik konsistensi dalam hal intensitas maupun ide dan gagasan sebuah postingan di blog. Untuk hal ini, jelas sudah bahwa aktivitas blogging-ku TIDAK KONSISTEN…!

Untuk konsistensi yang pertama telah aku sebutkan diatas, masih terkendala sebagaimana khas kaum proletar pada umumnya, sekali lagi; urusan perut. Sedangkan untuk konsistensi yang kedua, sebenarnya ada catatan tersendiri. Persisnya begini, memang ada baiknya bahwa tema dan topik yang dipostingkan kedalam blog adalah tema aktual yang merepresentasikan peristiwa kekinian. Tapi itulah masalahnya, posting sebagai bentuk respon atas peristiwa aktual menurutku bisa membahayakan kesehatan pikir dan jiwa. Karena jika begitu, setiap hari selalu saja anak-anak negeri disuguhi peristiwa yang menjemukan, memalukan dan memilukan.

Jelasnya, mari kita ingat peristiwa demi peristiwa; kenaikan BBM, bentrok berdarah sesama anak negeri di monas 1 Jun i 2008, parade penangkapan pejabat oleh KPK yang tiada henti hingga hari ini, kasus Ryan si penjagal dari Jombang, kasus Inces dari Jambi, beberapa kasus bunuh diri karena himpitan ekonomi, pengumuman 34 partai peserta pemilu, tiadanya calon pemimpin muda di pemilu 2009, dll…

Tapi itulah realitas negeri hari ini yang harus dihadapi, baik suka maupun tidak, sukarela maupun terpaksa. Tak bisa kita berpaling dan lari dari kenyataan dan apalagi menyerah, karena menyerah bisa berarti kalah. Sementara kata “menyerah & kalah” harus di buang jauh-jauh dari kosakata kaum muda, apalagi ditengah suasana meyongsong peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Saya kira sudah saatnya aku akhiri celoteh ini sampai disini saja….

Komentar :

ada 1
Anonim mengatakan...
pada hari 

salam kenal

Posting Komentar